Sabtu, 26 Maret 2016

1: Pertemuan Pertama

Cuaca kembali tak mendukung. Rintik hujan yang semakin lama semakin membesar turun membasahi kota yang sudah basah ini mungkin dalam satu atau dua tahun ke depan kota ini akan tenggelam, mengingat seringnya hujan turun menyapa kota kecil ini. Dinginnya pagi membuat kaca jendela rumah berembun, membuat kabur pandanganku keluar rumah. Geretan garis terukir dikaca kamarku, seperti akan pecah tapi kuyakin itu tidak akan terjadi. Aku menyusup dalam selimut tebal, menenggelamkan diri kedalamnya, sudah lima hari lamanya aku tidak masuk ke sekolah. Bukan hanya cuaca yang memusuhiku, perasaan ini juga seperti memaksaku untuk tidak pergi ke tempat itu. Entah aku akan bisa bertahan disana atau tidak, aku lebih berharap kedua orang tua ku akan menyekolahkan ku di home schooling.
            Ibu selalu berkata padaku, bahwa senang atau tidak suka atau tidak hidup harus selalu aku jalani seberat apapun itu. Tapi masalahnya bukan itu, aku tidak memiliki kepercayaan diri yang besar. Aku selalu pindah ke tempat yang tidak aku sukai tanpa alasan yang jelas, saat aku sudah menyukainya mereka memberitahu kan ku agar kami pindah. Setiap aku menanyakan apa alasannya, mereka selalu mengatakan ini bukan urusanku. Urusan yang dianggap adalah milik mereka sebenarnya berpengaruh besar terhadap ku, aku jadi malas bergaul dan kepercayaan diriku menurun seiring waktu. Terakhir kali aku tinggal di sebah kota yang penuh dengan kehangatan, cahaya matahari selalu muncul disana memeluk erat ku dipagi hari. Teman-teman yang sudah berada disampingku selama dua tahun itupun membuatku nyaman tinggal di kota ketiga yang pernah aku tinggali. Banyak tempat bagus disana yang bisa aku kunjungi bila ibu dan ayah sibuk dengan urusannya.
            “ Melisa!!!! “, terdengar suara teriakan ibuku dari bawah disusul dengan langkah kaki yang menaiki setiap anak tangga menuju kamar tidur ku. Ibu masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu, membuatku kaget tersentak dengan susulan teriakannya yang kedua “ Melisaa!!!!!!!! “. Suara langkah kaki ibu semakin terdengar dengan jelas dan kencang, ia menarik selimut dengan cepat dan mendapati aku yang sedang memeluk guling sambil tersenyum lebar didalamnya. Aku segera bangun sebelum ibu memanggil namaku yang ketiga kali dengan nada tinggi.
            “ Sampai kapan kamu akan bersembunyi? Sebentar lagi bel masuk akan berbunyi, tapi tidak ada salahnya jika kamu bergegas dan terlambat sedikit untuk datang kesana! “, bentak ibu sambil melepaskan selimut dari genggamannya. Tanpa pikir panjang aku segera menyikat gigi, berganti pakaian yang sopan, lalu menyisir rambut pirang yang menggantung sebahu. Memakai sedikit parfum beraroma bunga mawar, lalu bergegas turun ke bawah membawa sebuah ransel yang entah berisi apa didalamnya. Dibawah ibu sudah menyiapkan bekal yang ia taruh dalam ompreng transparan, sepertinya ia membawakanku roti isi salmon. Disebelahnya tergeletak kunci mobil yang selalu ia pakai, jarang sekali ia memperbolehkan aku membawa mobil. Mungkin karena ini keadaan yang mendesak makannya ia mengizinkan aku, sepertinyaaku harus melakukan hal ini setiap hari. Aku berpamitan dengannya, mencium kedua pipi yang merona itu. Lalu bergegas masuk ke dalam mobil, dan dengan kecepatan tinggi aku mengendarainya ke sekolah.
            Sesampainya disekolah ibu benar mungkin aku akan terlambat, tapi ia juga salah aku tidak terlambat sedikit melainkan terlambat banyak. Penjaga sekolah menyetop mobil ku saat aku akan masuk ke parkiran, aku memberitahukan yang sebenarnya lalu dia mengizinkan aku untuk parkir. Dengan nafas yang tergesa-gesa aku lari ke dalam sekolah mencari kantor guru, sungguh aku belum mengetahui aku ada di kelas yang mana. Setelah lama berkeliling, akhirnya aku menemukan ruangan dibawah tangga itu. Aku memasukinya dengan terburu-buru, semua orang yang ada di dalam ruangan kaget sambil melihat ke arahku. Segera ku tampilkan senyuman terlebar yang pernah aku miliki. Lalu seorang guru datang menghampiri.
            “ Ada yang bisa saya bantu? “, seorang guru lelaki berpakaian abu-abu dengan menggunakan jeans longgar bertanya dengan ramah. Aku menipiskan senyumanku kemudian menjawab, “ saya anak baru disini, sudah lima hari saya tidak masuk. Saya ingin mengetahui dimana kelas saya. Apakah bapak tau? “, jantung ini tak kunjung melambat berdetak rasanya sesak didada dan lelah. Aku ingin segera mungkin menemukan kelas itu dan duduk beristirahat disana, semua ini begitu konyol.
            Guru itu menuntunku ke sebuah kelas yang letaknya cukup jauh dari ruangan guru, diujung lorong. Ia mengetuk pintu, seorang wanita yang sepertinya juga guru keluar mereka berbincang sebentar menjelaskan aku siapa lalu wanita itu mengizinkan aku untuk masuk. Disana banyak sekali lelaki, mungkin jika aku tidak jeli melihat aku tidak akan melihat ada wanita disana. Beberapa dari mereka mulai menguap lalu menopangkan dagu, membuat ku sedikit kesal dengan kesan pertama yang aku dapati itu. Aku harus berjuang!!! Aku berdiri di depan, lalu tersenyum dan mengenalkan diriku. Tak banyak dari mereka yang merespon, hanya ada beberapa pertanyaan yang menanyakan sekolah ku sebelumnya. Aku menutup perkenalan dengan senyuman yang lebih lebar dari sebelumnya, guru wanita itu mempersilahkan aku untuk duduk di kursi belakang, karena disanalah satu-satunya kursi yang kosong.  Saat aku duduk seperti ada yang menusuk bokong ku, aku spontan berdiri membuat meja di depanku berderit. Orang-orang dikelas menoleh kepadaku, lalu kembali melihat ke depan. Ku elus kursi itu dengan tangan kiri, dan tidak terjadi apa-apa. Mungkin apa yang aku rasakan tadi itu hanya perasaan yang diciptakan oleh sugesti ku.
            Setelah beberapa jam belajar, akhirnya bel istirahat berdering. Anak-anak di kelasku segera keluar tanpa peduli dengan Guru Ibel yang masih ada di dalam kelas. Sepertinya ini hal yang biasa disini, ia tidak marah, hanya menyusul mereka keluar dari kelas. Saat-saat seperti ini tidak membuat ku ingin berjalan bahkan sekedar berdiri. Untungnya ada bekal yang sudah dipersiapkan oleh ibu. Dia memang paling mengerti aku. Aku membuka tempat bekal, lalu menyambar sebuah roti lapis yang penuh dengan mayonaise itu. Melahapnya sambil membuat pipi kanan kiriku menonjol keluar. Saat aku sedang enak-enaknya menyantap nekal ku, seorang lelaki berjalan ke arahku. Tangannya dimasukan ke dalam saku celana ia menghampiriku dengan tatapan tajam seperti singa yang akan menangkap buruannya. Ia duduk dihadapanku, menopang dagunya dengan tangan kiri, tangan kanannya memain-mainkan pulpen yang tergeletak diatas meja.
            “ Kenapa tadi kamu kaget pas duduk dikursi ini? “, tanyanya dengan nada ketus. Meskipun aku kembali kesal dengan nada dari pertanyaannya aku tidak dapat membentak atau memarahinya aku sadar bahwa aku ini anak baru. Aku akan mengikuti semua permainan yang ada di sekolah menjengkelkan ini. Aku menaruh roti lapis yang masih tersisa di tangan ku, lalu mengelap mulutku sebelum aku mulai menjawab. “ Seperti tertusuk itu yang aku rasakan, tapi saat aku sentuh tidak ada apa-apa disana “, kembali aku ambil roti lapis yang masih sisa separuh itu. Tatapannya semakin tajam, ia meninggalkan ku keluar kelas. Sungguh orang yang aneh, sebenarnya apa yang terjadi pada sekolah ini mengapa semua orang yang ada di dalamnya begitu aneh sampai membuatku berasumsi bahwa aku tidak akan tahan disekolah ini lebih dari tiga bulan. Kelas ini begitu sepi tak ada orang lain selain aku hingga saatnya bel masuk berdering, semuanya kembali masuk duduk di empatnya masing-masing. Meja yang berantakan segera aku rapihkan, tempat bekal dan tempat minum aku masukan kembali ke dalam tas. Aku sudah siap untuk pelajaran selanjutnya, seorang guru wanita lagi masuk disusul oleh seorang lelaki yang sangat aku kenali wajahnya, lelaki yang tadi duduk di hadapanku. Ia masuk melihat kepadaku dengan tatapan tajam namun bibirnya tersenyum, aneh. Entah apa yang sedang dipikirkannya, atau apa yang terjadi padanya. Dia begitu aneh dalam sekejap ia dapat mengubah kepribadiannya. Sungguh orang yang aneh.
            Selama jam pelajaran berlangsung, lelaki yang tidak aku ketahui namanya itu sering kali aku pergoki saat dia diam-diam melirik ke arah ku. Semakin membuatku penasaran apa yang sudah terjadi padanya dan juga apa yang ia perhatikan dari ku. Aku menatapnya dengan tatapan sinis, selalu berhasil membuatnya mengalihkan pandangan dari ku. Perbuatannya itu membuatku sulit untuk fokus belajar, akirnya daripada aku menghabiskan waktu pelajaran dengan memergokinya lebih baik aku menggambar. Ku ambil sketch book yang ada di tas, lalu aku mulai menggambar. Ya, aku sangat hobi menggambar. Diantara hobi ku yang lainnya seperti, berenang, menanam dan membaca aku lebih menyukai hobi ku yang menggambar. Aku bebas menumpahkan segala emosi ku ku di dalam setiap karyaku, membuatnya abadi hingga dapat aku kenang tak jarang aku mengingat apa emosi yang aku tuangkan dalam setiap gambar yang aku buat. Aku sangat fokus jika aku sudah menggambar, seakan dunia tidak ada yang meninggalinya. Telinga ku tak bisa mendengar dan mataku juga tak bisa melihat selain setiap goresan yang mulai aku ukir. Aku tenggelam dalam setiap proses yang aku lalui untuk menggambar. Tanpa aku sadari Bu Prith sudah berdiri disampingku, memperhatikan gambaranku. Hingga sampai teman sebelah kiri menendang kakiku, aku baru tersadar Bu Prith yang ada disampingku. Ia langsung mengambil sketch book ku dan dia  berjalan ke luar kelas. Aku langsung mengejarnya, memohonnya agar tidak membawa sketch book ku itu dan aku juga tidak lupa untuk meminta maaf kepadanya. Ia hanya bilang bahwa aku bisa kembali mendapatkan sketch book itu saat pulang sekolah nanti, akhirnya ku hentikan berlari menyusulnya aku berjalan lesu kembali ke dalam kelas.
            Didalam kelas semuanya membicarakan aku, anak baru yang membuat ulah, aku menghela nafas panjang menyabarkan diriku dengan cibiran-cibiran itu, mereka akan segera mereda, pikirku. Saat aku duduk, tusukan aku rasakan lagi. Spontan aku kembali berdiri dan lagi-lagi aku mendorong meja yang ada di depanku. Semua orang melihat ke arahku tatapannya tajam nampaknya mereka tidak suka terhadapku. Mereka langsung menoleh dengan cepat seakan-akan tidak kuat melihatku. Tapi seseorang menghampiriku yang lagi-lagi adalah lelaki aneh itu. Ia berjalan ke belakangku lalu mengelus-elus kursi yang aku duduki itu dengan kedua tangannya. Lalu meihat ke kolong kursi memastikan tidak ada sesuatu disana, lalu ia mencoba menduduki bangku itu. Setelah ia duduk ia tidak berkata apa-apa ia hanya mengangkat kedua bahunya lalu kembali duduk di bangku nya sendiri. Aku pun ikut duduk setelah ia duduk dan aku tidak merasakan apa-apa disana. Apa yang salah dengan bangku ini, pikirku kesal. Gara-gara bangku ini mungkin aku dianggap semakin aneh dimata teman-teman sekelasku, seharusnya kesan pertama ini adalah kesan yang paling terbaik malah kebalikan yang terjadi dan menimpaku. Sial.
            Bel kembali berdering dengan panjang, tanda pelajaran hari ini sudah usai. Aku buru-buru membereskan alat tulisyang berantakan. Lalu berlari ke arah ruang guru. Aku ingin sketch book ku kembali! Niat ku. Sesampainya di ruang guru, aku mencari-cari dimana guru itu berada. Saat aku melewati ruang kepala sekolah, aku tidak sengaja melirik dan melihat seseorang yang memakai baju berwarna jingga disana. Baju jingga! Baju yang dipakainya! Semangat ku. Ku ketok pintu ruangan itu, semua mata tertuju kepada ku. Aku tersenyum dan menundukan kepala, separah inikah masalah yang aku buat hingga ia harus melaporkannya kepada kepala sekolah? Gumamku dalam hati. Bu Prith menunjuk ke arah ku, “ Inilah anaknya “. Aku kaget sekaligus takut, apakah yang akan terjadi padaku saat ini. Semoga bukan hal yang buruk. Aku langsung menenukan lutut meohon agar mereka memaafkan kesalahanku, aku mengakui di depan mereka semua bahwa tadi aku tidak mmeperhatikan Ibu Prith yang sedang mengajar, aku meminta maaf berkali-kali selama mungkin. Tapi tiba-tiba terdengar suara tawa keluar dari mulut mereka, beberapa dari mereka menahannya dengan tangan dan yang lainnya membiarkan suara tawa itu memenuhi ruangan. Sungguh aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi saat ini, orang-orang di sekolah ini benar-benar aneh dan sulit untuk aku pahami.
            Bu Prith menjalaskan bahwa gambaranku semuanya bagus, dan kebetulan dua minggu lagi akan ada lomba menggambar antar kota. Dan aku dimintanya untuk mewakili sekolah ini, ia menambahkan pula bahwa tak banyak anak yang sua menggambar disekolah ini ditambah lagi gambaran mereka tidak sebagus gambaranku, ujarnya. Disatu sisi setelah mendengar perkataannya aku merasa bangga akan diriku sendiri, akhirnya aku bisa menemukan hal yang dapat aku tekuni dengan baik, tapi disatu sisi yang lain juga aku merasa takut, takut bahwa aku akan gagal dalam perlombaan tersebut. Tapi aku bertekad bahwa aku akan berusaha semaksimal mungkin. Aku keluar dari ruangan guru sambil memeluk sketch book dengan perasaan yang berbunga-bunga mungkin itupun tergambar jelas dari mimik wajahku, aku tersenyum ke setiap orang yang memandangku, ada yang membalas senyumanku adapula yang langsung menolehkan wajahnya. Tapi aku tidak peduli, perasaan ini semoga akan bertahan selama aku berada disini. Rasanya ini hari terbaik sepanjang hidup yang pernah aku lalui. Tidak ada kebahagian yang lebih bahagia melebihi bakatku yang sudah mulai diakui. Rasanya jika aku dapat terbang aku ingin terbang menggenggam awan dilangit dan melompat tinggi diatasnya, sayang semua itu hanya angan-angan dalam dongeng anak-anak. Aku berlari ke arah parkiran aku tidak sabar ingin segera menyampaikan berita baik ini kepada kedua orang tuaku, sesampainya aku di depan mobil. Disana ada sebuah kertas yang tertempel di atas kaca mobil ku yang bertulis “CONGRATULATION!!!” siapa yang memberi ucapan selamat ini dan apa maksudnya dari semua ini? Apa manksud dari ucapannya? Apa dia tau aku akan mengikuti lomba? Aku sangat dibuat penasaran olehnya. Aku melepaskan kertas itu, meremukannya dan melemparnya kedalam tong sampah yang jaraknya sekitar 4 meter dari posisi ku saat ini. Dan berhasil. Masuk!!!!.

            Aku langsung masuk ke mobil menaruh tas dan sketch book ku di jok sebelah. Dan memundurkan mobil ku, agar aku bisa keluar. Saat akumelihat kaca spion kanan ku. Terlihat seorang lelaki yang melambaikan kedua tangannya ke arahku sambil berteriak entah apa yang sedang ia teriaki aku tidak dapat mendengarnya dari dalam mobil. Aku membuka kaca, dan menongolmelihatke belakang. Lelaki itu mendekatiku, ia tersenyum sambil masih melambai-lambai. Lelaki itu si aneh lagi dan lagi. Rasanya sudah cukup persoalan yang terjadi diantara aku dengan nya, sekarang entah apalagi yang akan ia lakukan. Ia menjulurkan tangan kanannya kehadapanku, sambil menyelamatiku “CONGRATULATION YA!!!”, ucapnya dengan semangat. Meskipun aku masih merasa aneh, bukan alasan bagiku untuk tidak membalas salamannya itu, aku menyalaminya balik. Membuatnya semakin tersenyum lebar, terlihat begitu konyol. Tanpa basa-basi lagi aku segera menutup kaca dan pergi dari parkiran, ia terlihat bingung saat aku meninggalkannya tanpa sepatah katapun. Bukannya aku sombong atau apa, aku haru segera mungkin memberitahukan kedua orang tua ku tentang kabar bahagia ini. Aku mengendarai mobil dengan kecepatan maksimum, jalanan yang sudah tidak ber es dan sepi mendukungku untuk melakukannya. Aku menyalakan radio dengan volume yang hampir maksimal, membuatku merasa seperti ingin meledak dalam kebahagiaan. Sesampainya dirumah, aku memarkirkan mobil sembarangan. Aku tidak punya cukup waktu untuk memarkirkannya dengan benar. Aku menerobos masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang ingin mengagetkan mereka, kulihat mereka sedang saling berpelukan di ruang tengah. Aku mengagetkan mereka, dan mereka pun terkejut. Tapi saat ibu melihat ku, matanya sembab airmata mengalir deras dari kedua matanya. Apa yang sedang terjadi?. Ibu cepat-cepat menghapus air matanya, membuatku juga merasa sedih. Tapi ayah segera menanyakan apa yang terjadi dengan ku sehingga aku terlihat sangat bahagia, pertanyaan yang ayah lontarkan kepadaku membuat aku lupa dengan pertanyaan yang ingin aku tanyakan pada ibu. Dengan semangat yang begitu menggebu-gebu aku langsung menyodorkan sketch book ku pada mereka dan menjelaskan apa yang sudah terjadi. Mereka kaget bukan kepalang, tersenyum sesaat namun ibu langsung menunjukan mimik datar seperti tidak bahagia. Ia meninggalkan ku dan melempat sketch book ku ke lantai. Ayah menyusulnya, ibuku sudah hilang di belokan ruangan yang mengarah ke kamarnya sambil berteriak bahwa aku tidak dapat mengikuti perlombaan itu mereka tidak menyetujuinya. Air mata menerobos keluar dari tempat persembunyiannya, aku mengambil sketch book ku dan langsung lari kekamar sungguh semua ini begitu membuatku sedih.